Kamis, 15 Januari 2009

Tanggapan "Elegi Seorang Guru Menggapai Batas"

Sungguh agung apa yang Bapak tuangkan. “Guru Menggapai Batas”, sangat jauh batas yang harus digapai, namun kita (guru) harus berniat dan berusaha menggapai batas itu. Sertifikasi jalur pendidikan ini kita jadikan pijakan untuk “HIJRAH” dari: persipan pembelajaran yang hanya sekedar kelengkapan administrasi menjadi suatu kebutuhan, pembelajaran tradisional menjadi inovatif, teacher centered menjadi student centered, gaptek menjadi hightec, emosi menjadi penuh kesabaran, penuh dengan pamrih menjadi ikhlas, belum profesional menjadi professional. Kesemuanya itu kita niati demi peningkatan layanan kepada anak didik.
Pada akhirnya terimakasih yang sebesar-besarnya atas petuah-petuah yang Bapak sampaikan, karena dengan “ITULAH” mata hati terbuka dan kami berniat untuk “HIJRAH” menuju ke yang lebih baik. Marilah kita gapai bersama, seperti apa yang telah dipetuahkan oleh Orang Tua Berambut Putih, tanpa kehilangan karaktek diri kita. Kita bersinergi dengan putera-puteri menggapai tujuan yang diinginkan. “ELEGI GURU MENGGAPAI BATAS”, dengan niat dan mengharap RIDHO-NYA kami akan berusaha menggapai-nya…..AMIEN…..YA ROBBAL’ALAMIN.

tersesat masuk surga kunjugi lidah wali

Rabu, 14 Januari 2009

PENDIDIKAN DALAM KEBINEKAAN BUDAYA
(MULTIKULTURAL)
Oleh: Eni Rohayatun


Pendidikan dalam multukultural dapat didefinisikan sebagai ”pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. Pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama. Pendidikan dalam multikultural adalah suatu pendekatan dalam dunia pendidikan untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman, persamaan, dan perbedaan budaya sehingga mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri. Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip:
Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang mempresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
Pendidikan multukultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
Pendidikan multukultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalan memberantas pandangan klise tentang ras, budaya, dan agama.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multukultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis, dan jenis kelamin. Juga harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, diantaranya mencakup pakaian, musik, dan makanan kesukaan. Selain itu juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Pelaksanaan pendidikan di Indonesia sedikit banyak sudah mencerminkan pendidikan multukultural. Hal ini tampak pada penyusunan kurikulum yang diberikan seluas-luasnya kepada masing-masing sekolah disesuaikan dengan kultur budayanya sendiri-sendiri. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa pada pelaksanaannya ada miss yang harus sedikit demi sedikit kita benahi, yaitu pada pelaksanaan ujian akhir nasional. Jika ujian akhir nasional bertujuan untuk mengetahui standar mutu pendidikan secara nasional itu baik. Namun jika UNAS dijadikan salah satu kriteria penentu kelulusan itu kurang bijaksana, hal ini dikarenakan kondisi daerah yang berbeda baik dari sisi potensi, budaya, kesiapan, tetapi digunakan ukuran penilaian yang sama. Hal ini perlu kita benahi agar tidak terjadi penindasan terhadap anak didik. Banyak korban yang sudah berjatuhan, baik kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional yang justru diprakarsai oleh guru dan sekolah. Selain itu banyak kasus dimana siswa yang tidak lulus`ujian nasional mengalami stres bahkan kerap berujung pada bunuh diri. Jangan biarkan hal-hal tersebut mengotori dunia pendidikan di Indonesia yang mempunyai tujuan yang mulia ini. Karena ulah satu atau dua gelintir, atau bahkan kebijakan yang belum jelas namun sudah digunakan menyebabkan kurang mulianya dunia pendidikan ini.
Disisi lain mahalnya biaya pendidikan menjadikan dunia pendidikan jauh dari angan-angan bagi masyarakat yang kurang mampu. Jangan sampai kondisi pendidikan kita kembali seperti zaman feodal, bahwa pendidikan hanyalah milik segelintir kaum saja. Sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar, dan GBHN bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Jauhkan masyarakat kita dari kebodohan.
Kita (guru) adalah ujung tombak dan pelaksana pendidikan, harus ikut mewujudkan pendidikan Indonesia yang multikultural, kita tidak boleh pilih kasih, dan harus selalu berkomitmen bahwa anak didik kita adalah generasi penerus yang menjadi calon pemimpin negeri ini. Marilah kita bimbing, bina, didik, ajar, mereka dengan kemanusiaan dan keadilan. Sehingga menjadi pribadi-pribadi yang tidak hanya cerdas saja, tetapi menjadi generasi yang cerdas dan berkepribadian luhur.
Pada akhirnya, di tengah gegap gempita lagu nyaring tentang ”Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ”, harus menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajar ”ini” dan ”itu”, tetapi juga mendidik siswa kita menjadi manusia yang berkebudayaan dan berperadapan. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas `kebudayaan yang beragam tersebut.

FINAL REFLEKSI
MEMPERSIAPKAN GURU MATEMATIKA
MENUJU KUALITAS II
Oleh: Eni Rohayatun

Guru selalu berusaha melaksanakan tugasnya dengan baik, dan kenyataan yang dijumpai di sekolah adalah guru melaksanakan tugasnya dalam pembelajaran sejalan dengan jadwal yang telah ditetapkan. Hal ini seringkali diartikan sebagai bukti pelaksanaan tugas dengan baik, karena sudah melaksanakan tugas mengajarnya sesuai dengan jadwal. Melaksanakan tugas seperti itu memang penting, tetapi tindakan yang dilakukan guru tersebut tidak selamanya berdampak pada pembelajaran yang efektif bagi siswa. Tindakan yang dilakukan guru dikatakan tidak efektif manakala apa yang dilakukan guru tidak mengarah pada tujuan yang hendak dicapai. Kegiatan pembelajaran dikatakan efektif manakala dapat mencapai tujuan yang dirancangkan seperti dalam perencanaan penbelajaran yang baik. Dalam hal ini seharusnya guru mampu menyusun tugas sedemikian rupa secara efektif, sehingga tujuan atau sasaran pembelajaran dapat tercapai.
Kenyataan yang dijumpai selama ini dalam mengampu matematika menunjukkan guru kurang mempersiapkan segala sesuatu yang menunjang proses pembelajaran. Persiapan yang dilakukan guru hanya sekedar kelengkapan administrasi saja. Agar pembelajaran matematika dapat sesuai dengan yang diharapkan, sudah selayaknya guru mau merubah paradigma lama dari persiapan pembelajaran yang sifatnya hanya sekedar administrasi menjadi suatu kebutuhan yang harus dipersiapkan.
Guru matematika seharusnya merasa terpanggil, bagaiman upaya meramu, mendesain, dan menyajikan pelajaran matematika yang dapat mendukung tercapainya pengembangan kemampuan siswa. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks. Perbedaan individu pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, pembelajaran matematika di sekolah harus didesain sedemikian rupa sehingga memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menumbuhkembangkan kemampuan belajar secara maksimal.
Untuk itu, dalam melaksanakan pembelajaran di dalam kelas guru matematika tidak hanya tingkat kedalaman konsep yang diberikan pada siswa, namun harus disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, cara penyampaian materi pun demikian pula. Guru harus mengetahui tingkat perkembangan mental anak dan bagaimana pembelajaran harus dilakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan tahap perkembangan mental siswa besar kemungkinan akan mengakibatkan siswa mengalami kesulitan karena apa yang disajikan pada siswa tidak sesuai dengan kemampuannya dalam menyerap apa yang diberikan.
Proses belajar pada hakekatnya merupakan interaksi antar manusia, maka terdapat hubungan antar guru dan siswa dalam interaksi tersebut. Oleh karena itu bagaimana guru menempatkan anak didik sangat erat hubungannya dengan sikap si pendidik. Apabila guru menempatkan anak didiknya sebagai hanya subyek, maka sebagai guru hanya sebagai tutwuri saja, sifatnya memberi kebebasan, keleluasaan, hal demikian itu dapat mengakibatkan anak didik menjadi manja, sudah barang tentu tidak baik akibatnya. Sebab dalam dunia pendidikan menyatakan bahwa memanjakan anak merupakan awal dari kegagalan. Apabila guru menempatkan anak didiknya hanya sebagai obyek, maka guru bersikap handayani saja, sifatnya otoriter, menekan, hal demikian itu dapat mengakibatkan anak akan menjadi terkekang kebebasannya, anak didik dapat mengalami frustasi, tidak kreatif. Hal ini disebabkan anak didik merasa khawatir jika bertindak, mengerjakan sesuatu menjadi salah atau keliri (takut salah).
Oleh karena itu, seharusnya guru menempatkan anak didiknya sebagai subyek dan obyek sekaligus. Sebagai obyek, anak didik menerima informasi materi (materi pelajaran) dari guru; sedangkan sebagai subyek anak didik setelah menerima informasi, selanjutnya mengolah-memproses, sehingga yang diterima menjadi ilmu pengetahuan miliknya. Dalam hal ini berarti guru bersikap tutwuri handayani sekaligus. Sikap tersebut dapat mendorong kepada anak didik berkembang secara wajar, berjiwa merdeka, dan berkembang secara utuh.
Agar hal di atas dapat tercapai, maka para guru mempunyai kewajiban bersikap laku: 1) memperlakukan anak didik sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaanya, 2) menempatkan anak didik sebagai subyek dan obyek sekaligus dalam proses pendidikan, 3) memperhatikan sifat kodrati anak didik sesuai dengan tahap perkembangan jiwa raganya, 4) bersikap “tutwuri handayani”, 5) tugas mendidik dilaksanakan dengan penuh pengabdian.
Untuk menghadapi segala tantangan kehidupan di masa kini dan masa mendatang, pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang handal, mempunyai kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap dibarengi penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diandalkan pula. Upaya memperbaiki hasil belajar tiada akan berakhir, selagi peserta didik datang silih berganti. Oleh karena itu sikap optimis perlu selalu ditumbuhkan dan perlu kerja keras yang selalu diiringi doa.
Guru harus mengubah pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Lima perubahan pokok dalam pembelajaran matematika yang diperlukan agar siswa dapat mengembangkan kemampuan matematikanya, guru perlu: 1) mengubah kelas dari sekedar kumpulan siswa menjadi komunitas matematika, 2) menjadikan logika dan bukti matematika sebagai alat pembenaran dan menjauhkan otoritas guru untuk memutuskan suatu kebenaran, 3) mementingkan pemahaman daripada hanya mengingat prosedur, 4) mementingkan membuat dugaan, penemuan dan pemecahan masalahan soal dan menjauhkan dari tekanan pada penemuan jawaban secara mekanik, 5) mengkaitkan matematika, ide-ide dan aplikasinyan, dan tidak memperlakukan matematika sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang terasingkan.
Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya. Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaharuan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
Agar dapat melaksanakan tugasnya secara optimal, maka guru matematika dituntut untuk dapat: 1) memanfaatkan dan mengembangkan lingkungan belajar matematika 2 ) mengembangkan sumber-sumber belajar matematika, 3) melibatkan siwa dalam kegiatan apersepsi pembelajaran matematika, 4) berhasil mempromosikan motivasi siswa belajar matematika, 5) mengembangkan pembelajaran matematika secara klasikal, 6) mengembangkan pembelajaran matematika secara diskusi kelompok, 7) mengembangkan pembelajaran matematika dalam pelayanan individu, 8) menghubungkan matematika dengan keperluan lain dalam mata pelajaran lain, 9) mengembangkan stuktur pbm matematika, 10) mengembangkan skenario interaksi pbm matematika, 11) mengembangkan skenario pencapaian kompetensi matematika, 12) mengembangkan skenario kegiatan matematika siswa, 13) mengembangkan penilaian berbasis kelas, 14) melakukan kegiatan refleksi pbm matematika, 15) meneliti pbm matematika yang diselenggarakannya, 16) menjadi pengembang kurikulum matematika sekaligus silabusnya, 17) mengembangkan media pembelajaran matematika, 18) mengembangkan alat peraga matematika, 19) mampu menyusun buku text pelajaran matematika, 20) mampu mengembangkan berbagai macam LKS, 21) menyelenggarakan pbm matematika berdasarkan suatu teori baik metode maupun teori belajar siswa, 22) melakukan refleksi pbm matematika, 23) mampu memanfaatkan dan mengembangkan ICT untuk pbm matematika misalnya pemenfaatan BLOG, 24) melakukan inovasi pbm matematika secara kontinue dan konsisten, 25) mengembangkan pelayanan terhadap kebutuhan belajar matematika siswa termasuk kesulitan-kesulitannya, 26) mampu bekerjasama dengan sesama guru dalam memperbaiki pbm matematikanya, 27) mampu mengkomunikasikan problematika pbm matematika kepada orang lain, 28) secara ikhlas dan terbuka menerima kritik dan saran dai orang lain tentang kekurangan dalam menyelenggarakan pbm matematika, 29) selalu berusaha menjadi inisiator atau orang terdepan dalam mengembangkan pbm matematika yang inovatif, 30) memandang bahwa kagiatan mengajar juga merupakan bagian dari mengisi dan mengamalkan ibadahnya, 31) merasa bertanggungjawab dan konsisten kepada semua level kepentingan, mulai diri sendiri, siswa, teman guru, sekolah, kepala sekolah, dst; 32) mampu menulis karya-karya atau artikel di penerbitan, koran, majalah atau jurnal mengenai aspek pengembangan pbm matematika yang diselenggarakannya, 33) aktif mengikut kegiatan-kegiatan MGMP, seminar, lokakarya dan lesson study bidang pbm matematika, 34) terlibat aktif di sekolah dalam bidang pengembangan pbm matematika, 35) kegiatan mengajar matematika menjadi kegiatan dan prioritas utamanya, 36) menguasai konten matematika, 37) menyadari dan mampu mengimplementasikan pbm matematika pada tataran kualitas yang lebih tinggi (Kualitas II).

SUMBER BACAAN
Depdikbud. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: BP. Putra BhaktiMandiri.
Herman Hudoyo. (2001). Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Matematika. Malang: Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang.
John A. Van De Walle. (2008). Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan Pengajaran. (Alih Bahasa: Suyono). Jakarta: Erlangga.
Marsigit. (2008). Indikator Guru Matematika yang Profesional. http:/pbmmatmarsigit.blogspot.com. Akses: 28 Desember 2008.
Moh. Uzer Usman. (1995). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.