Rabu, 14 Januari 2009

PENDIDIKAN DALAM KEBINEKAAN BUDAYA
(MULTIKULTURAL)
Oleh: Eni Rohayatun


Pendidikan dalam multukultural dapat didefinisikan sebagai ”pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. Pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama. Pendidikan dalam multikultural adalah suatu pendekatan dalam dunia pendidikan untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman, persamaan, dan perbedaan budaya sehingga mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri. Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip:
Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang mempresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
Pendidikan multukultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
Pendidikan multukultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalan memberantas pandangan klise tentang ras, budaya, dan agama.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multukultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis, dan jenis kelamin. Juga harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, diantaranya mencakup pakaian, musik, dan makanan kesukaan. Selain itu juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Pelaksanaan pendidikan di Indonesia sedikit banyak sudah mencerminkan pendidikan multukultural. Hal ini tampak pada penyusunan kurikulum yang diberikan seluas-luasnya kepada masing-masing sekolah disesuaikan dengan kultur budayanya sendiri-sendiri. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa pada pelaksanaannya ada miss yang harus sedikit demi sedikit kita benahi, yaitu pada pelaksanaan ujian akhir nasional. Jika ujian akhir nasional bertujuan untuk mengetahui standar mutu pendidikan secara nasional itu baik. Namun jika UNAS dijadikan salah satu kriteria penentu kelulusan itu kurang bijaksana, hal ini dikarenakan kondisi daerah yang berbeda baik dari sisi potensi, budaya, kesiapan, tetapi digunakan ukuran penilaian yang sama. Hal ini perlu kita benahi agar tidak terjadi penindasan terhadap anak didik. Banyak korban yang sudah berjatuhan, baik kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional yang justru diprakarsai oleh guru dan sekolah. Selain itu banyak kasus dimana siswa yang tidak lulus`ujian nasional mengalami stres bahkan kerap berujung pada bunuh diri. Jangan biarkan hal-hal tersebut mengotori dunia pendidikan di Indonesia yang mempunyai tujuan yang mulia ini. Karena ulah satu atau dua gelintir, atau bahkan kebijakan yang belum jelas namun sudah digunakan menyebabkan kurang mulianya dunia pendidikan ini.
Disisi lain mahalnya biaya pendidikan menjadikan dunia pendidikan jauh dari angan-angan bagi masyarakat yang kurang mampu. Jangan sampai kondisi pendidikan kita kembali seperti zaman feodal, bahwa pendidikan hanyalah milik segelintir kaum saja. Sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar, dan GBHN bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Jauhkan masyarakat kita dari kebodohan.
Kita (guru) adalah ujung tombak dan pelaksana pendidikan, harus ikut mewujudkan pendidikan Indonesia yang multikultural, kita tidak boleh pilih kasih, dan harus selalu berkomitmen bahwa anak didik kita adalah generasi penerus yang menjadi calon pemimpin negeri ini. Marilah kita bimbing, bina, didik, ajar, mereka dengan kemanusiaan dan keadilan. Sehingga menjadi pribadi-pribadi yang tidak hanya cerdas saja, tetapi menjadi generasi yang cerdas dan berkepribadian luhur.
Pada akhirnya, di tengah gegap gempita lagu nyaring tentang ”Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ”, harus menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajar ”ini” dan ”itu”, tetapi juga mendidik siswa kita menjadi manusia yang berkebudayaan dan berperadapan. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas `kebudayaan yang beragam tersebut.

Tidak ada komentar: